Minggu, 01 Mei 2011

Peringati May Day, Ribuan Buruh Menyemut Di Istana

Komhukum (Jakarta) - Hingga siang ini (1/5), ribuan buruh masih berdemonstrasi di Istana Negara, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Mereka menuntut ada perubahan kondisi kerja bagi para buruh.

Massa buruh yang berkumpul sejak pagi tadi itu sebelumnya melakukan longmarch dari Bundaran Hotel Indonesia. Salah satu aliansi besar dalam peringatan Mayday ini, Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI).

PPRI dalam peringatan Mayday ini sendiri menginginkan adanya perubahan kondisi kerja bagi para buruh. Selain organisasi atau serikat pekerja, dalam PPRI juga turut bergabung Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan beberapa organisasi pemuda ekstra parlementer, yakni Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) dan Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI).

Dalam selebarannya, PPRI menganggap SBY-Boediono sebagai rezim kapitalistik. Pemerintahan SBY dituding gagal mensejahterakan rakyat, khususnya kaum buruh.

Sementara itu, Ferry Widodo Ketua Nasional FPPI yang mengajak belasan mahasiswa dan pelajar dari negara-negara ASEAN mengatakan, Mayday kali ini merupakan upaya penyatuan gerakan-gerakan rakyat untuk melawan penindasan oleh negara. "Sekarang negara lebih banyak melakukan kekerasan, terutama melalui kebijakan yang pemerintah keluarkan," kata Ferry.

Sedangkan massa dari AJI yang membawa perangkat aksi berupa miniatur penjara menuntut agar kesejahteraan para jurnalis ditingkatkan. Tak hanya itu, AJI juga menuntut agar jurnalis bebas berserikat dan berorganisasi. (K-2/Kahfi)

Sumber : KOMHUKUM
Url : http://www.komhukum.com/kriminal-feed-3090

Ribuan Buruh Juga Bergerak ke Istana Negara

TEMPO Interaktif, Jakarta - Ribuan pengunjuk rasa dari gabungan organisasi buruh yang menamakan dirinya Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI) mulai bergerak menuju Istana Negara dari Bundaran HI, Jakarta Pusat. "Yang hadir sekitar lima ribu pengunjuk rasa," ujar Vivi Widiawati, perwakilan dari Organisasi Perempuan Mahardika, Minggu, 1 Mei 2011.

Meski lautan buruh berbaju merah ini sudah tumpah ruah memenuhi lokasi, Vivi mengatakan jumlah ini baru sebagian dari buruh yang memberi komitmen akan turun ke jalan pada hari ini. Diperkirakan total buruh yang hadir akan berjumlah sepuluh ribu orang. "Ini baru yang dari Jakarta Utara, kami masih menunggu rombongan dari Bekasi," ujarnya.

Agenda besar yang disuarakan oleh PPRI adalah kegagalan SBY-Boediono dalam melindungi dan membuat sejahtera kaum buruh. Pemerintahan saat ini dinilai mengutamakan kaum kapitalis daripada kaum buruh. "Kami sudah tidak percaya dengan presiden atau elite politik lain. Kami harap masyarakat mau berkonsolidasi menurunkan rezim SBY," ujar Vivi.

Menurut Vivi, ada empat persoalan besar yang dihadapi buruh saat ini, yaitu sistem outsourcing, upah minimum, kondisi kerja yang tidak kondusif, dan juga hilangnya kebebasan berserikat. "Saat ini, banyak buruh yang tidak bisa memiliki kebebasan berserikat karena seringkali timbul ancaman PHK bila ikut berorganisasi," katanya.

Aksi para buruh ini membuat arus lalu lintas dari Jalan Thamrin menuju Jalan Merdeka Utara padat merayap. Begitu pula arah sebaliknya.

RATNANING ASIH


Sumber :  TEMPO Interaktif
Url : http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2011/05/01/brk,20110501-331280,id.html

Kekang Kebebasan, Jurnalis Ajak Turunkan SBY Boediono

Minggu, 01 Mei 2011 , 12:30:00 WIB

Laporan: Hendry Ginting


SBY/IST
  
RMOL. Sekitar dua ribuan buruh yang tergabung dalam Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia tak mensia-siakan hari Buruh Sedunia. Bergabung bersama buruh-buruh lainnya, mereka gunakan hari May Day untuk menyuarakan desakan menurunkan pemerintahan SBY Boediono.

"SBY-Boediono antek Neolib. Turunkan SBY Boediono!" ucap masa aksi bergemuruh saat hendak meninggalkan Bundaran HI menuju Istana.

Masa buruh dari Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia ini menggelar aksi dengan menggunakan baju seragam berwarna merah sebagai simbol berani. Dibelakang baju tertera tulisan jurnalis independen.

Dalam menggelar aksinya mereka membawa baliho dan poster-poster bertuliskan bebaskan jurnalis berserikat dan sebuah kerangkeng berukuran besar yang menggambarkan pemerintah SBY Boediono mengekang kebebasan jurnalis.

"Stop diskriminasi buruh. Turunkan SBY Boediono," kata masa aksi bersemangat. [ade]

Sumber : Rakyat Merdeka Online
Url : http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=25827

Pernyataan sikap Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI) pada Peringatan Hari Buruh Sedunia (MAYDAY), 1 Mei 2011

Kekuasaan Rezim Kapitalis SBY-Boediono Telah Gagal dan Harus Digulingkan

1 Mei 2011 secara serempak kaum buruh (proletar industry dan proletar pedesaan) akan berbaris rapi dengan tinju mengepal seraya berteriak “BURUH BERSATU TAK BISA DIKALAHKAN, BURUH BERKUASA RAKYAT SEJAHTERA” laksana petir menggelegar, membuat kaum pemodal bersama elit politisi borjuis makin terdesak merapatkan barisanya, takut kekuasaan atas struktur politik diambil alih secara paksa oleh barisan proletar yang sedar.

Masih kuat dalam ingatan rakyat, para pemodal yang didukung oleh rezim dan seluruh elit politik selalu berusaha meredam gerakan massa rakyat dan proletar. Buktinya setelah National Summit 2009 sudah banyak rekomendasi kebijakan ekonomi, hukum dan politik yang kapitalistik untuk 5 tahun ke depan.

Ketertundukan rezim borjuis untuk membawa Indonesia dalam skema pasar bebas internasional sudah lama disepakati oleh semua rezim yang pernah memimpin Republik ini, geliat itu makin nampakn setelah ACFTA yang disahkan pada Januari 2010, disusul dengan berbagai perjanjian dagang bilateral dan perdagangan bebas yang sejenis tentu ada upaya yang diabdikan untuk mempercepat penyatuan pasar dalam negeri dengan pasar internasional sehingga berdampak semakin rapuhnya Industri dalam negeri yang memang sudah tidak berdaya sekaligus secara sistematis berdampak pada merosotnya tingkat kesehjateraan dan peluang hidup ratusan juta buruh industri, semakin memiskinkan puluhan juta petani tak bertanah dan secara otomatis semakin menghancurkan masa depan seluruh tenaga produktif di Indonesia yang memang sudah terpuruk dalam kemelaratan.

Kaum buruh dan petani miskin tak bertanah setelah menanggung semua beban dari krisis kapitalisme kemarin 2008-2009. Kembali saat ini dan mungkin di masa yang akan datang mereka tetap menanggung berbagai kebijakan negara yang anti rakyat, karena semua komitnen politik dari rezim berkuasa maupun semua partai-partai borjuasi saat ini hanya diabdikan pada para pemodal.

Tiap hari, tiap bulan telingga, dan mata kita sering mendengar dan menyaksikan besarnya ledakan angka PHK kaum buruh. Tahun 2009 saja tiap bulannya tercatat rata-rata di Indonesia sebanyak 15.000 buruh manufaktur dan jasa kehilangan pekerjaan, sementara yang masih bekerja justru dipaksa menerima rendahnya upah dan minimnya jaminan social untuk buruh, dibatasinya kehidupan kebebasan berorganisasi dalam pabrik. Bahkan tidak benar, kalau Negara menyatakan ada Jaminan Sosial terhadap kaum buruh lewat UU SJSN, tidak benar Negara telah mengklaim ada perlindungan terhadap kebebasan berorganisasi buat kaum buruh, tidak benar kalau Negara telah mengkalim ada upaya perlingdungan maksimal saat buruh di PHK. Justru yang terjadi adalah Negara telah berpaling muka lari dari tanggung jawabnya sambil menginjak-injak kaum buruh.

Buktinya hak-hak dasar yang hak harusnya diberikan oleh Negara, Justru situasinya tidak seindah dalam teks undang-undang. Namun hak dasar itu baru bisa bisa terpenuhi karena gigihnya perjuangan massa rakyat. Kita bisa belajar dari pengalaman perjuangan buruh, kaum tani saat reclaming tanah diberbagai wilayah dan kegigihan kaum miskin kota melawan premanisme aparat dan pengusuran atas nama pembangunan.

Rezim dalam 7 tahun terakhir ini makin giat memangkas subsidi-subsidi vital untuk rakyat, BBM, pendidikan, Listrik, Pupuk dan lainya. Ditenggah indeks saya beli rakyat yang stagnan (baca; Merosot), dari jumlah penduduk Indoensia yang sebesar 240 juta jiwa (sensus 2010) lebih dari 75% penduduk kita masih berpenghasilan rata-rata 2 US $/Perhari. Kita bisa mengecek melalui rata-rata UMP kaum buruh dan upah buruh tani Indonesia.

Angka-angka tersebut menandakan bahwa selama ini rezim telah gagal mengenal siapa kaum miskin itu sesungguhnya. Sampai sakarang, sebagian besar orang miskin bertempat dan menetap di pedesaan, dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 6.1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan sama sekali dan 5 juta RTP tak bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten.

Ditetapkanya UU Ketenagakerjaan tahun 2003, sesunguhnya rezim telah lama memberi peluang diberlakukannya Labour Market Flexibility (LMF) di Indonesia dengan sistem outsourching dan kerja kontrak telah membuktikan bahwa pasar tenaga kerja yang liberal di dalam negeri sudah berjalan dengan efektif dan menunjukkan masih konsistenya Negara menerapkan politik Upah murah. Cukuplah fakta bahwa membuktikan bahwa Negara Republik kapitalis Indonesia tidak pernah melindungi kaum buruh.

Belum lagi soal wilayah Hutan, Perkebunan, Pertambangan minyak gas dan mineral, Perikanan Wilayah Pesisir dan Kelautan, Pangan, sudah dipenuhi dengan kepentingan pemodal besar dan kepentingan negara-negara maju di Nusantara ini. Wajar kemudian kekayaan alam tersebut diekspor mentah-mentah kepada negara-negara yang membutuhkan untuk diolah.

Apalagi negara ini membutuhkan devisa untuk membayar hutangnya yang menumpuk. Sejumlah undang-undang di bidang energi yang disahkan selepas reformasi 1998. Tentu saja kebijakan itu menyebabkan Indonesia tak punya kedaulatan energi maupun pangan. Sehingga “Sekitar 70 persen sumber energi kita sekarang dikuasai penuh oleh raksasa modal asing dan dalam negeri.

Dengan derajat penindasan yang tidak kalah dengan kaum buruh, para petani miskin dan buruh tani tak bertanah di pedesaan yang jumlahnya puluhan juta jiwa. Sekarang juga kian meradang kehidupanya, janji-janji manis rezim yang katanya sudah melakukan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), dengan melakukan redistribusi (bagi-bagi) tanah sebanyak 8,15 juta Hektare kepada para petani. Ternyata jauh panggang dari api. Karena PPAN ternyata tunduk pada hukum land market (pemenuhan pasar tanah, bagi Investor) hasil asistensi ADB yang didesakkan di BAPPENAS dan BPN beberapa tahun yang lalu.

Hal itu juga diperparah dengan rencana rezim SBY-Boediono yang didukung penuh oleh kaum pemodal khususnya para pengusaha infrastruktur untuk segera mengesahkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Kami menyebut RUU ini adalah RUU Perampasan Tanah Rakyat untuk Kepentingan Pemodal, tentu kebijakan pertanahan yang anti rakyat itu jelas menjadi buldozer untuk merampas tanah-tanah rakyat di desa dan di kota atas sehingga semakin tegas arah proletarisasi di pedesaan maupun perkotaan dan mempertinggi kualitas konflik agraria ditenggah ketiadaan pembaruan agraria sejati.

Belum hilang dari ingatan rakyat dan ribuan kaum petani Jambi, Takalar, Alas Tlogo, Ogan Komerin Ilir dll dalam mennghadapi kebrutalan TNI/Polri. Kemarin 16 April 2011, tragedi berdarah terulang kembali di Urutsewu Setrojenar Kebumen, Jawa Tenggah pelakunya tentara yang menembaki petani di atas lahanya sendiri, 4 orang mengalami luka tembak belasan orang mengalami luka-luka cukup parah akibat tindakan membabi buta tentara saat membubarkan aksi petani yang mempertahankan lahanya agar tidak dijadikan areal eksploitasi penambangan pasir besi dan areal latihan militer Kodam IV Diponegoro.

Rezim juga berketetapan untuk membuat rakyat Indonesia selalu lapar di negerinya sendiri, hal ini ditegaskan dalam PP No.18 tahun 2010 tentang budidaya tanaman membolehkan investor termasuk asing untuk menguasai lahan seluas 10.000 hektar (ha). Jangka waktu pengusaan 35 tahun dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 35 tahun dan 25 tahun. Selain menyediakan legitimasi lewat aturan, pemerintah juga menjanjikan fasilitas khusus untuk investor yang akan mengembangkan food estate.

Daerah yang ditetapkan sebagai food estate akan dijadikan kawasan khusus ekonomi (KEK), sehingga akan mendapatkan fasilitas fiskal dan non fiscal. Fasilitas fiskal misalnya pembangunan infrasturktur dimasukkan dalam biaya investasi, keringan pajak penghasilan, tax holiday, pengurangan pajak bangunan, keringanan pajak daerah/redistribusi, tidak adanya pungutan pajak pertambahan nilai. Fasilitas kepabeanan dan cukai meliputi penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, dan keringanan PPh impor. Sedang fasilitas non-fiskal misalnya kemudahan perizinan dan fasilitas keimigrasian.

Kebijakan tentang pengembangan pangan skala luas atau food estate semakin menguatkan bahwa kebijakan pertanian SBY-Beodiono terjerembab dalam sistem ekonomi neoliberal. Cirinya jelas, ketersediaan pangan secara perlahan diserahkan ke mekansime pasar. Pemerintah hanya berfungsi sebagai “penjaga malam” yang mengatur bagaimana transaksi berlangsung secara adil.

Food estate menjadi mekanisme baru di dalam menggenjot produktivitas pangan nasional. Mekanisme baru ini secara sistematis akan menggantikan sistem pertanian berbasis rumah tangga petani ke sistem pertanian berbasis agro-bisnis yang sangat terang intervensi pemodalnya sebab Masalah pangan makin dikomersilkan dan diserahkan penuh penggelolaanya perusahaan pertanian dan pangan. Sehingga masa depan petani kecil akan terancam oleh ekspansi perusahaan pertanian skala besar. Dalam konteks ini, maka pengembangan pangan skala luas atau food estate sejatinya bukan diperuntukkan untuk petani kecil, tetapi lahan pertanian yang subur akan diserahkan penguasaan dan pengelolaannya ke koorporasi besar pertanian dan pangan dari Bin Laden Corporation, dari Korea, China, Korindo Group, Mitsubishi Group, PT Sumber Alam Sutra, PT Wolo Agro lestari, PT Comexindo Internasional, PT Bangun Tjipta Sarana, PT Medco Energy, PT Artha Graha, PT Digul Agro Lestari, PT Buana Agro Tama dll.

Sudah saatnya kita mempersolid organisasi kita dan massa rakyat Indonesia sebagai basis untuk terus mempertinggi dan memperhebat perjuangan secara langsung dan berhadap-hadapan dengan lawan-lawan politik yakni seluruh struktur negara borjuis dan seluruh elit politik penindas rakyat yang sangat mencintai sistem kapitalisme.

Kami mengetahui persis bahwa sebenarnya watak asli elit-elit politik, partai partai borjuis yang berada di Senayan dibawah komando SBY-Boediono ternyata sangat tekun mempraktekkan Kapitalisme yang membawa akibat ambruknya seluruh tatanan ekonomi, poliik dan kemanusian. Oleh karena itu, Kekuasaan rezim kapitalis SBY-BOEDIONO harus digulingkan dengan energi massa dalam persatuan perjuangan, menuju pemerintahan transisional demokratik di bawah kepemimpinan kelas buruh dan tani.

Kami menegaskan sikap untuk:

1. Tolak Upah Murah, Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing, Terapkan Upah Layak Nasional.
2. Batalkan dan Cabut UU 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
3. Tanah Untuk Rakyat
4. Batalkan pengesahan RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan.
5. PP No.18 tahun 2010 dan Batalkan Proyek Food Estate.
6. Pendidikan gratis, ilmiah, kerakyatan dan berkualitas untuk semua golongan tanpa ada diskriminasi.
7. Kesehatan gratis dan berkualitas bagi rakyat.

Tidak ada jalan lain, maka inilah jalan keluar yang harus dilakukan secara cepat, saling terkait dan serempak harus:

1. Negara harus melaksanakan Pembaruan Agraria Sejati di Bawah Kontrol Rakyat.
2. Negara harus Bangun industrialisasi nasional yang mandiri di bawah kontrol kaum buruh.
3. Negara harus melakukan Nasionalisasi asset-asset swasta dalam dan luar negeri dibawah kontrol rakyat.
4. Negara harus menyita harta, mengadili dan penjarakan Koruptor.
5. Negara menghapus dan menolak hutang luar Negeri

Jakarta, 1 Mei 2011

Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI)